Friday, July 15, 2011

en la Memoria - Prologue

Heyhoooo
Setelah sekian lama berhenti menulis dengan alasan "kuliah" dan sekian lama melupakan gimana cara dan gimana rasanya bikin fanfic, Erika a.k.a eurika a.k.a r'qa akhirnya menelurkan sebuah fanfic. hahahahahaha

sebenarnya aq gak tau ini bakal jadi cerita abadi (read :cerita yang gak ada endingnya) ato gak karena sejauh ini, aq menulis hanya karena embel2 liburan panjang dan dalam rangka mengisi kejenuhan akibat liburan yang kelamaan. Karena banyak sekali waktu kosong setelah kerja, akhirnya aq mutusin buat bikin fanfic lagi.

mungkin di fanfic ini bakal terasa banyak kata2 aneh atau "gak rika banget" tapi ya... mohon dimaklumi ajah ya? mungkin setelah perkembangan dan perjalanan menuju "ff yang lebih baik" gaya penulisan rika yang dulu bisa kembali lagi. hohohohohoho...

tanpa berpanjang lebar lagi, inilah epepku yang kupersembahkan untuk dirimu semua. selamat menikmati. caci maki untuk meningkatkan kualitas epep sangat amat dibutuhkan.

kamsahamnida... *deep bow*



Title : en la Memoria (In Memory)
Genre : Romantic
Rate : 17+
Starring : Kim Jong-hyun (SHINee) -- Le Gi-kwang (B2ST) -- Lee Yun-ji
Disclaimer : I do never own Lee Gi-kwang and Kim Jong-hyun. They belong to Cube Entertainment (Lee Gi-kwang), SM Entertainment (Kim Jong-hyun), their groups and their parents. But I do really own Lee Yun-ji. She belongs to my imagination. Read it with open mind and leave comments for me. Thank you...




Kamu terdiam, berdiri di depan sebuah rumah bergaya tudor yang begitu kokoh. Kedua kakimu terasa begitu sulit digerakkan, selain karena rasa sakit yang masih terasa, kedua kakimu itu juga seolah begitu berat.

“Yun-ji... Ayo masuk.”

Ajakan itu membuatmu menoleh, menatap ke sumber suara yang tidak lain tidak bukan adalah nyonya pemilik rumah ini, seorang wanita yang kau panggil Kim Ahjumma, orang yang ada disisimu ketika kamu membuka kedua matamu setelah tertidur selama hampir sebulan, orang yang juga telah memberitahumu bahwa kau sebatang kara. Dan wanita inilah yang bersedia untuk melanjutkan tugas keluargamu untuk melindungi dan menjagamu.

“N-ne...” Kamu menjawab gugup. Perlahan kamu kembali berjalan, mengikuti langkah Kim ahjumma yang berjalan di depanmu sambil membawa barang-barangmu.

“Ahjusshi baru akan pulang sore nanti. Kau beristirahatlah dulu. Akan ahjumma tunjukkan kamarmu...”

Dia menyentuh pelan jemarimu, menggenggamnya lembut. Terasa begitu hangat...

Kamu mengikuti langkahnya, menaiki tangga di rumah tersebut. Sampai akhirnya kalian berhenti di antara dua pintu.

“Kamarmu berada di sebelah kiri, sedangkan di depan kamarmu adalah kamar anak laki-lakiku,” ucap ahjumma sambil tersenyum. “Kamu mau bertemu dengannya?”

Kamu kaget dengan pertanyaan itu. Meskipun kamu sudah mendengar banyak mengenai anak laki-laki keluarga ini, namun atas kejadian yang menimpamu, kamu belum berpikir untuk menemui laki-laki yang mengalami peristiwa yang hampir sama denganmu.

Akan tetapi, belum sempat kamu menjawab, wanita setengah baya ini mengetuk pelan pintu berwarna putih itu dan membukanya perlahan.

“Jong-hyun... Ada tamu untukmu.”
Sepasang matamu mendapati seorang laki-laki duduk di atas tempat tidurnya dan sepasang sorot matanya yang tajam itu menatapmu. Matanya memang tajam, namun tatapan itu terasa kosong, seolah dia begitu kebingungan.

“Umma akan meninggalkan kalian berdua...” Kim ahjumma berjalan pergi tanpa menunggu jawaban kalian berdua.

Pintu itu tertutup rapat. Kamu pun masih berdiri di dekat pintu, tidak berani bergerak maju ataupun mundur. Sepasang matamu mendapati laki-laki itu masih menatapmu, kebingungan. Tapi tidak ada satupun dari kalian berniat untuk membuka mulutnya untuk berbicara.

Tanpa kau sadari, kamu mengamatinya. Menatap wajah tirusnya yang dilengkapi dengan sepasang alis tebal, sorot mata tajam, hidung dan bibirnya yang tipis. Kamu juga melihat kedua telinganya yang dihiasi dengan piercing, dua di sebelah kanan dan satu di sebelah kiri; memperhatikan rambutnya yang jabrik dan berwarna kecoklatan. Dia memang sosok laki-laki gagah seperti yang diceritakan oleh kedua orang tuanya selama ini. Kamu juga mengetahui sebelumnya bahwa usianya hanya lebih tua setahun darimu.

“Namaku Kim Jong-hyun...” Dia membuka suaranya, dengan suara yang agak ragu. “Setidaknya itu yang aku dengar dari dua orang yang mengatakan bahwa mereka adalah orang tuaku...”

Kamu bisa melihatnya tersenyum sinis, wajahnya masih terus menunjukkan ekspresi yang kebingungan, seolah tidak mengerti tentang semua yang terjadi padanya, kenapa dia ada di sini, dan bahkan dia seolah tidak mengenali siapapun.

“Na... namaku Lee Yun-ji.” Kamu memperkenalkan dirimu dengan gugup, sorot matanya yang tajam menatapmu hingga kau tidak bisa berkata apa-apa. Bentuk khas wajahnya dengan rahang yang kokoh membuatnya terkesan sebagai seorang bad boy dan membuatmu bergidik ngeri.

“Kau terlihat terluka parah. Mereka mengatakan bahwa kau mengalami kecelakaan hingga seluruh anggota keluargamu meninggal dan kau sebatang kara...” Dia berganti mengamatimu. “Kau lebih beruntung, setidaknya mau masih memiliki ingatan tentang siapa dan darimana engkau.”

Laki-laki itu menghela napas panjang. Kamu dapat melihat bahwa kondisinya tidak berbeda jauh denganmu. Di sekujur tubuhnya terdapat luka yang ditutupi dengan perban, bahkan kaki kanannya terbungkus gips.
Tangannya bergerak, menggapai sebuah gitar yang teronggok cukup jauh dari tempat tidurnya. Menyadari dia tidak bisa bergerak banyak, dengan agak ragu kau pun berjalan menghampirinya dan membantunya mengambil gitar itu. Kamu menyerahkan gitar itu kepadanya dan secara tidak sengaja tatapan kalian saling beradu. Dia tersenyum.

“Gomawo...”
Jong-hyun mulai memetik senar gitar tersebut, memainkan beberapa melodi yang terdengar asing bagimu. Namun belum lama dia memainkan gitar tersebut, dia pun berhenti. Dia sedikit memutar posisi duduknya dan berganti menatapmu yang duduk di atas kursi di samping tempat tidurnya. Perlahan, dia menopangkan dagunya pada lipatan tangannya di atas gitarnya dan menatapmu.

“Aku tidak tau apa yang menimpaku hingga aku seperti ini. Kata mereka... aku mengalami kecelakaan di kampusku ketika aku mempersiapkan acara. Aku terjatuh dari ketinggian.Tulangku patah, dan aku hilang ingatan, semua ingatan tentang identitas, memori apapun itu pun lenyap dari otakku, tapi anehnya aku tidak melupakan bakatku dan kemampuanku dalam bermusik. Aneh memang. Dan akhirnya aku hanya bisa diam dan tetap terkurung di ruangan ini hingga aku bisa keluar dan belajar tentang dunia ini, sekali lagi. Tidak berbeda jauh denganmu. Aku yakin kau pasti masih sedih dengan kecelakaan yang menimpa keluargamu dan kau harus menerima bahwa kau tinggal di keluarga dari rekan Appa-mu yang bahkan tidak kau kenali sebelumnya.”

Kamu tidak menjawab satupun ucapannya. Bukan karena merasa tidak ada yang perlu kau jawab, namun kau justru menyadari bahwa nasibmu tidak seburuk apa yang kau pikirkan. Setidaknya kau masih memiliki keluarga yang mau menampungmu dan kenangan mengenai keluargamu masih dapat kau kenang dan selalu tersimpan di dalam benakmu. Tanpa kau sadari, air matamu pun menetes.

“hei... Kenapa kau menangis? Apa karena aku berbicara terlalu banyak?”

Jong-hyun terlihat kaget, namun dengan sigap dia meraih kotak tisu yang ada di atas meja belajarnya dan mengulurkannya kepadamu.

“Gomawo..” Kamu menarik selembar tisu dan menyekanya. Kamu pun berusaha untuk berbicara, meskipun kau masih merasa gugup. “Aku sedikit lebih beruntung darimu. Aku masih memiliki ingatan dan bisa tinggal dengan layak karena kebaikan kedua orang tuamu. Oleh karena itu, sebagai rasa terima kasihku, bolehkah aku menemanimu mengobrol setiap hari?”

Jong-hyun terlihat kaget dengan ucapanmu, namun kau bisa melihat bibirnya melengkung, tersenyum kepadamu.

“Karena kau tidak bisa berpindah dari tempat tidurmu, aku akan ada di sini setiap hari untuk membantumu. Aku akan menjadi teman bicaramu, mengenalkan apa yang terjadi di luar sana kepadamu. Aku memang tidak terlalu pintar, tapi semoga itu cukup untuk membuatmu mengerti.”

Mendengar ucapanmu, Jong-hyun tertawa. Dia tampak senang mendengar ucapanmu. Kau pun tidak mengerti kenapa dia terlihat begitu bahagia, namun tidak dapat kau pungkiri bahwa rasa bahagia juga menjalar di dalam hatimu.

“Baiklah. Kalau begitu kita sepakat untuk terus saling membantu dan menemani mulai dari hari ini. Senang berkenalan dan tinggal serumah denganmu, Yun-ji...”

Sunday, June 19, 2011

Anak Tangga

hidup itu bagaikan sebuah rangkaian anak tangga.
anak tangga yang terbentang begitu jauh dan begitu tinggi.
kita ada di dunia ini untuk terus meniti anak tangga ini, untuk terus menjalani hidup kita.
kita terus berusaha, namun ada kalanya, karena kita tidak waspada, ada saja hal yang membuat kita terpaksa terjatuh dan merosot dari anak tangga ini.
sakit. itu memang kenyataannya.

tapi apakah kita boleh mengeluh? apakah kita pasrah dengan kenyataan ini?
tentu saja tidak. itu tidak boleh.
kita harus tetap berjalan ke atas, kembali meniti anak tangga tersebut.
dengan rasa sakit yang masih mendera, kita harus percaya bahwa kita terus melangkah, kita masih bisa terus berjalan.
jangan kalah pada ketakutan atas kejatuhan berikutnya, rasa sakit yang akan kembali mendera.

kita berusaha, dan kita percaya bahwa kita tak pernah sendiri.
karena selalu ada Tuhan untuk membantu kita, menopang kita di saat kita jatuh, menuntun kita untuk terus melangkah.
Tuhan yang Baik itu akan selalu ada untuk terus bersama kita.
Percayalah. Tak ada percobaan yang tidak bisa diatasi.
God is Good all the time. :))

Tuesday, April 19, 2011

korban 'bahagia' sistem pendidikan

Ujian Akhir Nasional atau Ujian Negara atau apapun lah namanya itu. Sekali lagi aku mendengar nama itu disebut lagi tahun ini. Berbagai memori kembali berputar di dalam benakku, bagaikan video-video tua yang tersimpan di dalam salah satu folder tersembunyi di dalam kepalaku. Video-video tua dan sederhana itu menampilkan wajah-wajah tegang dari orang-orang yang kukenali. Ah... bukan hanya wajah tegang, namun marah, lelah... bercampur tawa, tangis.


Aku merindukan masa-masa itu.


Masih bermain dengan begitu jelas di layar otakku, kenangan-kenangan yang terlewati pada masa menjelang ujian. wajah-wajah stress yang tengah berkutat dengan sejumlah angka dan bahasa-bahasa aneh (baca : bahasa latin) yang bahkan tidak kami ketahui apa dan darimana asalnya.. wajah-wajah muak lelah karena menghabiskan sebagian besar hari di dalam sekolah tua itu.


Tapi sesungguhnya aku tidak pernah membenci segala sesuatu yang membuat wajah kami buruk rupa seperti itu. Semua benar-benar terbayarkan dengan rasa senasib dan sepenanggungan yang kami miliki sebagai korban sistem pendidikan negara ini.


HAHAHAHA


Ironis memang. Sistem pendidikan negara ini yang tetap saja berjalan di tempat alias tidak ada perbaikan justru menciptakan memori indah sendiri bagi para korbannya.


Ketengangan, ketakutan dalam menghadapi UAN yang dirasakan hampir seluruh rekan senasib kita menimbulkan rasa solidaritas yang sangat besar. Candaan menjadi tawa bersama, ketakutan dan kesedihan menjadi air mata bersama. Dan hal itulah yang merangkai memori-memori indah masa sekolah yang selalu kita kenang.




-Good Luck-

Monday, January 17, 2011

Senin diam...

Aku terpaku. Ya. Hanya mampu terpaku ketika meilihat gundukan tulisan yang terpampang di hadapanku. Rangkaian huruf yang terlihat begitu abstrak, tapi aku memahaminya.


Huruf-huruf itu seolah memanggilku, merayuku untuk melirik dan memusatkan perhatian kepada mereka. Tapi aku tidak mau. Aku menolak mereka mentah-mentah.


Ini bukan karena aku membenci mereka. Aku menyukai mereka dan apa yang mereka tawarkan kepadaku. Tapi hatiku tidak terpatut pada mereka. Hatiku dan Pikiranku terpatut pada hal yang lain.


Aku melihat ke luar jendela. Menatap gundukan tanah yang tidak berbentuk, menatap jalan, menatap sinar mentari, menatap semua hal yang bisa kulihat dari gedung tinggi yang berwarna-warni ini. Aku menghela napas panjang.


Aku galau.


Aku tidak bisa menyatukan apapun yang ada di dalam kepalaku. Semua terlihat begitu kacau. Berantakan. Aku tidak mampu lagi memaksa konsentrasi rapuhku ini untuk memahami semua rangkaian peristiwa yang terjadi padaku.


Untuk kesekian kalinya aku berkata, "Aku muak pada hidupku."


Tapi akhirnya, sebuah kesadaran kecil menyentilku. Membuatku melihat ke arah sebuah figura foto yang tergeletak tidak jauh dari tempatku bergelung. Figura foto yang berisi senyuman bahagia dari para gadis itu, dari laki-laki itu, dan diriku sendiri.
Mataku kembali bertualang. Melihat secarik kertas yang juga tergeletak di hadapanku yang berisi beberapa kata yan gtidak kumengerti, tapi yang paling menangkap perhatianku adalah beberapa tulisan seperti "CGK-PNK"  "28 Januari 2010"  "18.10-19.25"


Semua hal ini membuatku kembali tersenyum. Jariku pun kembali menghentak di atas tuts-tuts hitam yang tengah menungguku di hadapan layar kaca yang menyala terang.


Aku pun kembali  menulis, ditemani suara merdunya. Love Pain...

Sunday, December 12, 2010

The Sweetest Love

Cinta...
Baiklah harus kuakui aku adalah salah seorang manusia yang sangat mengagungkan Cinta meskipun aku tidak tau bagaimana bentuknya ataupun bagaimana rasanya sebuah cinta sejati itu. Meskipun kukatakan bahwa saat ini aku tengah mencintai seseorang, tapi aku tetap masih belum bisa mengerti apakah cinta itu sesungguhnya.


Banyak sekali argumen yang mengatakan bahwa cinta adalah sesuatu yang sakral, suci, dan begitu tulus. Karena cinta, seseorang rela mengorbankan, bahkan meninggalkan segala sesuatu miliknya. Karena cinta, seseorang rela melakukan apapun demi cinta itu sendiri. Bukankah dengan begitu cinta terkesan egois?


Jujur saja, apabila benar cinta itu sedemikian kejam, tega, dan egoisnya, aku takut untuk merasakan cinta.


Tapi dalam beberapa waktu terakhir ini, aku menyadari bahwa cinta itu memang benar adanya. Cinta itu memang ada, tumbuh, berakar, dan hidup bersama kita dengan atau tanpa kita sadari.






Kejadian pertama yang membuatku tersadar akan cinta yang sesungguhnya adalah sebuah cerita cinta antara kakek dan nenekku. Perjalanan hidup yang berat dan panjang, serta sangat menderita membuat pasangan ini tumbuh sebagai pasangan yang keras. Baik kakek ataupun nenekku adalah orang yang sangat keras kepala dan umur yang sudah lanjut membuat hubungan mereka terkesan hambar, bahkan hanya sebagai rutinitas karena hidup berdua di dalam sebuah rumah. Itulah yang kusaksikan sejak aku kecil hingga umurku menginjak 16 tahun.


Akan tetapi, kesaksian dari nenekku mengubah semua pandanganku.


Sembari menangis, nenekku pernah bercerita tentang malam terakhir dimana Kakekku masih memiliki kesadaran setelah sakitnya yang mendera hidupnya selama bertahun-tahun. Jumat malam, dini hari, Kakekku menyentuh pelan jemari nenekku sambil mengucapkan terima kasih atas pengabdian nenekku selama pernikahan mereka. Kakekku juga mengatakan seberapa keras kepala dan egoisnya nenekku, dia selalu mencintai nenekku. Kakek mengucapkan banyak terima kasih atas semua hal yang telah dilakukan oleh nenek. Memberi 7 anak, merawat mereka, bekerja membanting tulang dalam menghadapi kehidupan yang memang tidak mudah, merawat 'istana' kecil mereka, bahkan merawat kakekku yang menderita berbagai penyakit karena usianya yang telah renta.


Aku tersentuh. Pasangan yang telah lanjut usia itu ternyata menyimpan sebuah cinta yang kekal dan begitu suci di balik semua perselisihan yang sering terjadi di antara mereka. Mereka telah berjanji untuk hidup bersama ketika mengikrarkan janji suci perkawinan mereka dan itulah janji yang dibawa sampai ajal memisahkan mereka berdua 4 tahun silam.




Cerita kedua adalah mengenai Papa dan Mamaku. Sepasang manusia yang dari merekalah aku lahir, hidup, berkembang, dan terus bertumbuh sampai saat ini.


Harus kuakui bahwa Papa dan Mama bukanlah sosok yang romantis dan pasangan yang mengumbar cinta di dalam kehidupan mereka sehari-hari. Papa adalah sosok yang keras, tegas, keras kepala, galak, dan lain sebagainya; sedangkan Mama adalah sosok yang sabar, lemah lembut, dan begitu tabah dalam menjalani hidupnya. Kedua orang yang memiliki sifat bertolak belakang ini membuatku terheran-heran bagaimana cara mereka menghadapi kerasnya hidup berumah tangga.


Ketika aku berusia sekitar 4-5 tahun, aku sudah bisa membaca, menulis, karena sejak aku berumur 2 tahun, aku sudah mendapatkan pengajaran khusus untuk hal itu. Karena kemampuanku itulah aku bisa membaca diari yang disembunyikan Mama.


Masih teringat jelas di kepalaku sampai saat ini dimana aku membaca kesedihan dan galaunya hati Mama saat itu. Tekanan yang dihadapinya karena sikap Papa yang keras, serta penolakan dari Tante dan Pamanku (adik-adik Papa yang saat itu tinggal di rumahku) membuat Mama begitu putus asa. Bahkan aku membaca bahwa Mama ingin bercerai dari Papa dan membawaku serta adikku.


Umurku yang masih sangat dini saat itu ternyata sudah mengerti apa itu perceraian dan perpisahan. Dan di saat itu aku menangis dan memeluk adikku yang saat itu berusia 3 tahun serta melihat ke arah adikku yang paling kecil dimana saat itu dia masih bayi. Aku menangis dengan begitu hebatnya sampai Mama masuk ke dalam kamar dan mendapati aku membaca buku hariannya. Di saat itu Mama memeluk aku dan adikku, berulang kali mengatakan maaf. Mama juga menangis, namun tanpa suara karena tidak ingin orang lain tau. Berkali-kali Mama bilang kalau kami tidak boleh menangis. "Mama tidak akan pergi dari rumah ini demi kalian"... itulah kata-kata yang paling kuingat hingga detik ini.


Tahun demi tahun pun berlalu. Cobaan dan cobaan terus datang menghampiri keluargaku. Mama divonis menderita tumor pada payudara dan rahimnya. Aku menyaksikan perjuangan hidup Mamaku melawan penyakit itu ketika rasa sakit itu datang dan semakin menjadi. Sedangkan Papa?
Sejak kami pindah dari rumah itu ke rumah yang lebih besar, Papa yang dingin, yang galak, yang mengerikan itu berubah 180 derajat. Papa yang semula cuek dan selalu bertindak tegas perlahan berubah menjadi Papa yang baik hati, yang senang bercanda, dan mendekatkan diri pada kami.


Aku melihat perubahan besar yang terjadi pada diri keluargaku sejak umurku menginjak 13 tahun.


Kehidupan keluargaku berangsur membaik. Papa dan Mama terlihat harmonis dan bahagia meskipun terkadang mengalami cek cok ataupun Papa memarahi Mama karena hal-hal sepele. Akan tetapi, Mama terus sabar menghadapi Papa, rutinitas pekerjaan rumah, ataupun kami, anak-anaknya yang tumbuh menjadi remaja dan saat itu masih sangat labil.


Dan bahkan ketika aku sudah meninggalkan rumahku dan meniti kehidupanku jauh dari rumah, keluargaku masih merupakan keluarga yang utuh dan bahagia. Aku melihat cinta yang besar dan tulus di dalam rumah sederhana itu dan disanalah tempat terbaik dimana aku merasakan kehangatan.


Namun sebuah pukulan besar melanda keluargaku pada akhir tahun 2009. Di saat itu adalah tahun pertama aku pergi dari rumah, dan pada bulan Oktober 2009, untuk pertama kalinya Papa memberikan kejutan ulang tahun untuk Mama dimana selama 18 tahun hidupku, ulang tahun Mama sudah tidak pernah dirayakan lagi.


Hanya kejutan kecil yang dibuat oleh Papa saat itu. Papa memasak berbagai jenis makanan kesukaan Mama tepat di hari ulang tahunnya. Tentu saja hal itu membuat Mama begitu terharu dan Mama tidak menyangka bahwa Papa dengan sifatnya yang demikian akan mampu melakukan hal tersebut.


Akan tetapi, beberapa hari berselang... Papa terkena stroke dan memberi pukulan besar bagi keluargaku, terutama Mama. Akan tetapi Mama tetap sabar merawat dan menjaga Papa. Dengan setia Mama tidak pernah berhenti mendampingi Papa yang saat itu sangat frustasi dengan penyakitnya yang tidak kunjung sembuh. Papa semakin emosi dan tidak stabil mendapati sebagian tubuhnya yang tidak bisa digerakkan. Lagi-lagi Mama yang menjadi sasarannya.


Tapi Mama tidak menyerah. Mama terus mendampingi Papa, terus menjaga dan merawatnya. Mama tidak peduli dengan semua sakit hati yang didapatnya dari perlakuan ataupun perkataan Papa. Mama mengerti dan sangat memahami semua itu sebagai bagian dari frustasinya Papa. Tiap malam Mama hanya menangis dan berdoa semoga Tuhan memberikan kesembuhan dan kebahagiaan untuk keluarga kami.


Satu tahun pun berlalu setelah kejadian tersebut.


Papa kembali sehat dan keluarga kami pulih kembali. Rutinitas berat yang dijalani Mama tidak pernah membuatnya mengeluh, tapi Mama tetap sabar menjalani kehidupannya. Dan untuk perjuangan Mama yang tidak pernah pupus itulah, Papa tergerak hatinya.


Setelah 20 tahun Papa tidak pernah membelikan hadiah untuk Mama, kali ini Papa berubah menjadi seorang laki-laki yang pernah dikenal Mama 20 tahun yang lalu, sebelum pernikahan mereka. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, Papa memintaku untuk membelikan sesuatu kepada Mama sebagai hadiah ulang tahunnya, meskipun sudah lewat. Papa mungkin lupa selera berpakaian Mama, Papa lupa apa yang Mama suka atau tidak. Papa sudah berubah menjadi pria asing di mata Mama selama 20 tahun ini, dan aku tahu Papa sangat menyesal. Oleh karena itu, Papa ingin kembali ke masa-masa itu, masa-masa dimana Papa sangat memperhatikan Mama, menyayangi Mama dengan sepenuh hati dan segenap kemampuannya. Papa mengatakan bahwa Papa sangat bersyukur memiliki seorang istri seperti Mama yang selalu sabar mendampinginya.


Aku tersentak. Aku tercengang. Aku tidak pernah menyangka bahwa cinta Papa untuk Mama sedemikian hebatnya sampai mampu membuat Papa dengan sifat keras dan tegasnya itu luluh demi cintanya kepada Mama.






Rangkaian cerita cinta yang terjadi di sekelilingku ini membuatku tersadar bahwa cinta bukanlah hal yang egois. Memang benar orang-orang akan rela melepaskan miliknya demi cinta. Orang-orang tersebut rela melepaskan semua dari dirinya agar bisa hidup bersama dan berdampingan, sejalan dengan orang yang dicintainya. Bahkan melepaskan ego dan sifat buruk mereka demi melihat senyuman kebahagiaan dari orang yang dicintai mereka.


Aku ingin mengalami dan merasakan cinta yang seperti itu. Cinta yang tulus dan tanpa pamrih. Cinta yang tak berego...
Cinta yang paling manis.




-eurika-