Cinta...
Baiklah harus kuakui aku adalah salah seorang manusia yang sangat mengagungkan Cinta meskipun aku tidak tau bagaimana bentuknya ataupun bagaimana rasanya sebuah cinta sejati itu. Meskipun kukatakan bahwa saat ini aku tengah mencintai seseorang, tapi aku tetap masih belum bisa mengerti apakah cinta itu sesungguhnya.
Banyak sekali argumen yang mengatakan bahwa cinta adalah sesuatu yang sakral, suci, dan begitu tulus. Karena cinta, seseorang rela mengorbankan, bahkan meninggalkan segala sesuatu miliknya. Karena cinta, seseorang rela melakukan apapun demi cinta itu sendiri. Bukankah dengan begitu cinta terkesan egois?
Jujur saja, apabila benar cinta itu sedemikian kejam, tega, dan egoisnya, aku takut untuk merasakan cinta.
Tapi dalam beberapa waktu terakhir ini, aku menyadari bahwa cinta itu memang benar adanya. Cinta itu memang ada, tumbuh, berakar, dan hidup bersama kita dengan atau tanpa kita sadari.
Kejadian pertama yang membuatku tersadar akan cinta yang sesungguhnya adalah sebuah cerita cinta antara kakek dan nenekku. Perjalanan hidup yang berat dan panjang, serta sangat menderita membuat pasangan ini tumbuh sebagai pasangan yang keras. Baik kakek ataupun nenekku adalah orang yang sangat keras kepala dan umur yang sudah lanjut membuat hubungan mereka terkesan hambar, bahkan hanya sebagai rutinitas karena hidup berdua di dalam sebuah rumah. Itulah yang kusaksikan sejak aku kecil hingga umurku menginjak 16 tahun.
Akan tetapi, kesaksian dari nenekku mengubah semua pandanganku.
Sembari menangis, nenekku pernah bercerita tentang malam terakhir dimana Kakekku masih memiliki kesadaran setelah sakitnya yang mendera hidupnya selama bertahun-tahun. Jumat malam, dini hari, Kakekku menyentuh pelan jemari nenekku sambil mengucapkan terima kasih atas pengabdian nenekku selama pernikahan mereka. Kakekku juga mengatakan seberapa keras kepala dan egoisnya nenekku, dia selalu mencintai nenekku. Kakek mengucapkan banyak terima kasih atas semua hal yang telah dilakukan oleh nenek. Memberi 7 anak, merawat mereka, bekerja membanting tulang dalam menghadapi kehidupan yang memang tidak mudah, merawat 'istana' kecil mereka, bahkan merawat kakekku yang menderita berbagai penyakit karena usianya yang telah renta.
Aku tersentuh. Pasangan yang telah lanjut usia itu ternyata menyimpan sebuah cinta yang kekal dan begitu suci di balik semua perselisihan yang sering terjadi di antara mereka. Mereka telah berjanji untuk hidup bersama ketika mengikrarkan janji suci perkawinan mereka dan itulah janji yang dibawa sampai ajal memisahkan mereka berdua 4 tahun silam.
Cerita kedua adalah mengenai Papa dan Mamaku. Sepasang manusia yang dari merekalah aku lahir, hidup, berkembang, dan terus bertumbuh sampai saat ini.
Harus kuakui bahwa Papa dan Mama bukanlah sosok yang romantis dan pasangan yang mengumbar cinta di dalam kehidupan mereka sehari-hari. Papa adalah sosok yang keras, tegas, keras kepala, galak, dan lain sebagainya; sedangkan Mama adalah sosok yang sabar, lemah lembut, dan begitu tabah dalam menjalani hidupnya. Kedua orang yang memiliki sifat bertolak belakang ini membuatku terheran-heran bagaimana cara mereka menghadapi kerasnya hidup berumah tangga.
Ketika aku berusia sekitar 4-5 tahun, aku sudah bisa membaca, menulis, karena sejak aku berumur 2 tahun, aku sudah mendapatkan pengajaran khusus untuk hal itu. Karena kemampuanku itulah aku bisa membaca diari yang disembunyikan Mama.
Masih teringat jelas di kepalaku sampai saat ini dimana aku membaca kesedihan dan galaunya hati Mama saat itu. Tekanan yang dihadapinya karena sikap Papa yang keras, serta penolakan dari Tante dan Pamanku (adik-adik Papa yang saat itu tinggal di rumahku) membuat Mama begitu putus asa. Bahkan aku membaca bahwa Mama ingin bercerai dari Papa dan membawaku serta adikku.
Umurku yang masih sangat dini saat itu ternyata sudah mengerti apa itu perceraian dan perpisahan. Dan di saat itu aku menangis dan memeluk adikku yang saat itu berusia 3 tahun serta melihat ke arah adikku yang paling kecil dimana saat itu dia masih bayi. Aku menangis dengan begitu hebatnya sampai Mama masuk ke dalam kamar dan mendapati aku membaca buku hariannya. Di saat itu Mama memeluk aku dan adikku, berulang kali mengatakan maaf. Mama juga menangis, namun tanpa suara karena tidak ingin orang lain tau. Berkali-kali Mama bilang kalau kami tidak boleh menangis. "Mama tidak akan pergi dari rumah ini demi kalian"... itulah kata-kata yang paling kuingat hingga detik ini.
Tahun demi tahun pun berlalu. Cobaan dan cobaan terus datang menghampiri keluargaku. Mama divonis menderita tumor pada payudara dan rahimnya. Aku menyaksikan perjuangan hidup Mamaku melawan penyakit itu ketika rasa sakit itu datang dan semakin menjadi. Sedangkan Papa?
Sejak kami pindah dari rumah itu ke rumah yang lebih besar, Papa yang dingin, yang galak, yang mengerikan itu berubah 180 derajat. Papa yang semula cuek dan selalu bertindak tegas perlahan berubah menjadi Papa yang baik hati, yang senang bercanda, dan mendekatkan diri pada kami.
Aku melihat perubahan besar yang terjadi pada diri keluargaku sejak umurku menginjak 13 tahun.
Kehidupan keluargaku berangsur membaik. Papa dan Mama terlihat harmonis dan bahagia meskipun terkadang mengalami cek cok ataupun Papa memarahi Mama karena hal-hal sepele. Akan tetapi, Mama terus sabar menghadapi Papa, rutinitas pekerjaan rumah, ataupun kami, anak-anaknya yang tumbuh menjadi remaja dan saat itu masih sangat labil.
Dan bahkan ketika aku sudah meninggalkan rumahku dan meniti kehidupanku jauh dari rumah, keluargaku masih merupakan keluarga yang utuh dan bahagia. Aku melihat cinta yang besar dan tulus di dalam rumah sederhana itu dan disanalah tempat terbaik dimana aku merasakan kehangatan.
Namun sebuah pukulan besar melanda keluargaku pada akhir tahun 2009. Di saat itu adalah tahun pertama aku pergi dari rumah, dan pada bulan Oktober 2009, untuk pertama kalinya Papa memberikan kejutan ulang tahun untuk Mama dimana selama 18 tahun hidupku, ulang tahun Mama sudah tidak pernah dirayakan lagi.
Hanya kejutan kecil yang dibuat oleh Papa saat itu. Papa memasak berbagai jenis makanan kesukaan Mama tepat di hari ulang tahunnya. Tentu saja hal itu membuat Mama begitu terharu dan Mama tidak menyangka bahwa Papa dengan sifatnya yang demikian akan mampu melakukan hal tersebut.
Akan tetapi, beberapa hari berselang... Papa terkena stroke dan memberi pukulan besar bagi keluargaku, terutama Mama. Akan tetapi Mama tetap sabar merawat dan menjaga Papa. Dengan setia Mama tidak pernah berhenti mendampingi Papa yang saat itu sangat frustasi dengan penyakitnya yang tidak kunjung sembuh. Papa semakin emosi dan tidak stabil mendapati sebagian tubuhnya yang tidak bisa digerakkan. Lagi-lagi Mama yang menjadi sasarannya.
Tapi Mama tidak menyerah. Mama terus mendampingi Papa, terus menjaga dan merawatnya. Mama tidak peduli dengan semua sakit hati yang didapatnya dari perlakuan ataupun perkataan Papa. Mama mengerti dan sangat memahami semua itu sebagai bagian dari frustasinya Papa. Tiap malam Mama hanya menangis dan berdoa semoga Tuhan memberikan kesembuhan dan kebahagiaan untuk keluarga kami.
Satu tahun pun berlalu setelah kejadian tersebut.
Papa kembali sehat dan keluarga kami pulih kembali. Rutinitas berat yang dijalani Mama tidak pernah membuatnya mengeluh, tapi Mama tetap sabar menjalani kehidupannya. Dan untuk perjuangan Mama yang tidak pernah pupus itulah, Papa tergerak hatinya.
Setelah 20 tahun Papa tidak pernah membelikan hadiah untuk Mama, kali ini Papa berubah menjadi seorang laki-laki yang pernah dikenal Mama 20 tahun yang lalu, sebelum pernikahan mereka. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, Papa memintaku untuk membelikan sesuatu kepada Mama sebagai hadiah ulang tahunnya, meskipun sudah lewat. Papa mungkin lupa selera berpakaian Mama, Papa lupa apa yang Mama suka atau tidak. Papa sudah berubah menjadi pria asing di mata Mama selama 20 tahun ini, dan aku tahu Papa sangat menyesal. Oleh karena itu, Papa ingin kembali ke masa-masa itu, masa-masa dimana Papa sangat memperhatikan Mama, menyayangi Mama dengan sepenuh hati dan segenap kemampuannya. Papa mengatakan bahwa Papa sangat bersyukur memiliki seorang istri seperti Mama yang selalu sabar mendampinginya.
Aku tersentak. Aku tercengang. Aku tidak pernah menyangka bahwa cinta Papa untuk Mama sedemikian hebatnya sampai mampu membuat Papa dengan sifat keras dan tegasnya itu luluh demi cintanya kepada Mama.
Rangkaian cerita cinta yang terjadi di sekelilingku ini membuatku tersadar bahwa cinta bukanlah hal yang egois. Memang benar orang-orang akan rela melepaskan miliknya demi cinta. Orang-orang tersebut rela melepaskan semua dari dirinya agar bisa hidup bersama dan berdampingan, sejalan dengan orang yang dicintainya. Bahkan melepaskan ego dan sifat buruk mereka demi melihat senyuman kebahagiaan dari orang yang dicintai mereka.
Aku ingin mengalami dan merasakan cinta yang seperti itu. Cinta yang tulus dan tanpa pamrih. Cinta yang tak berego...
Cinta yang paling manis.
-eurika-
No comments:
Post a Comment