Heyhoooo
Setelah sekian lama berhenti menulis dengan alasan "kuliah" dan sekian lama melupakan gimana cara dan gimana rasanya bikin fanfic, Erika a.k.a eurika a.k.a r'qa akhirnya menelurkan sebuah fanfic. hahahahahaha
sebenarnya aq gak tau ini bakal jadi cerita abadi (read :cerita yang gak ada endingnya) ato gak karena sejauh ini, aq menulis hanya karena embel2 liburan panjang dan dalam rangka mengisi kejenuhan akibat liburan yang kelamaan. Karena banyak sekali waktu kosong setelah kerja, akhirnya aq mutusin buat bikin fanfic lagi.
mungkin di fanfic ini bakal terasa banyak kata2 aneh atau "gak rika banget" tapi ya... mohon dimaklumi ajah ya? mungkin setelah perkembangan dan perjalanan menuju "ff yang lebih baik" gaya penulisan rika yang dulu bisa kembali lagi. hohohohohoho...
tanpa berpanjang lebar lagi, inilah epepku yang kupersembahkan untuk dirimu semua. selamat menikmati. caci maki untuk meningkatkan kualitas epep sangat amat dibutuhkan.
kamsahamnida... *deep bow*
Title : en la Memoria (In Memory)
Genre : Romantic
Rate : 17+
Starring : Kim Jong-hyun (SHINee) -- Le Gi-kwang (B2ST) -- Lee Yun-ji
Disclaimer : I do never own Lee Gi-kwang and Kim Jong-hyun. They belong to Cube Entertainment (Lee Gi-kwang), SM Entertainment (Kim Jong-hyun), their groups and their parents. But I do really own Lee Yun-ji. She belongs to my imagination. Read it with open mind and leave comments for me. Thank you...
Kamu terdiam, berdiri di depan sebuah rumah bergaya tudor yang begitu kokoh. Kedua kakimu terasa begitu sulit digerakkan, selain karena rasa sakit yang masih terasa, kedua kakimu itu juga seolah begitu berat.
“Yun-ji... Ayo masuk.”
Ajakan itu membuatmu menoleh, menatap ke sumber suara yang tidak lain tidak bukan adalah nyonya pemilik rumah ini, seorang wanita yang kau panggil Kim Ahjumma, orang yang ada disisimu ketika kamu membuka kedua matamu setelah tertidur selama hampir sebulan, orang yang juga telah memberitahumu bahwa kau sebatang kara. Dan wanita inilah yang bersedia untuk melanjutkan tugas keluargamu untuk melindungi dan menjagamu.
“N-ne...” Kamu menjawab gugup. Perlahan kamu kembali berjalan, mengikuti langkah Kim ahjumma yang berjalan di depanmu sambil membawa barang-barangmu.
“Ahjusshi baru akan pulang sore nanti. Kau beristirahatlah dulu. Akan ahjumma tunjukkan kamarmu...”
Dia menyentuh pelan jemarimu, menggenggamnya lembut. Terasa begitu hangat...
Kamu mengikuti langkahnya, menaiki tangga di rumah tersebut. Sampai akhirnya kalian berhenti di antara dua pintu.
“Kamarmu berada di sebelah kiri, sedangkan di depan kamarmu adalah kamar anak laki-lakiku,” ucap ahjumma sambil tersenyum. “Kamu mau bertemu dengannya?”
Kamu kaget dengan pertanyaan itu. Meskipun kamu sudah mendengar banyak mengenai anak laki-laki keluarga ini, namun atas kejadian yang menimpamu, kamu belum berpikir untuk menemui laki-laki yang mengalami peristiwa yang hampir sama denganmu.
Akan tetapi, belum sempat kamu menjawab, wanita setengah baya ini mengetuk pelan pintu berwarna putih itu dan membukanya perlahan.
“Jong-hyun... Ada tamu untukmu.”
Sepasang matamu mendapati seorang laki-laki duduk di atas tempat tidurnya dan sepasang sorot matanya yang tajam itu menatapmu. Matanya memang tajam, namun tatapan itu terasa kosong, seolah dia begitu kebingungan.
“Umma akan meninggalkan kalian berdua...” Kim ahjumma berjalan pergi tanpa menunggu jawaban kalian berdua.
Pintu itu tertutup rapat. Kamu pun masih berdiri di dekat pintu, tidak berani bergerak maju ataupun mundur. Sepasang matamu mendapati laki-laki itu masih menatapmu, kebingungan. Tapi tidak ada satupun dari kalian berniat untuk membuka mulutnya untuk berbicara.
Tanpa kau sadari, kamu mengamatinya. Menatap wajah tirusnya yang dilengkapi dengan sepasang alis tebal, sorot mata tajam, hidung dan bibirnya yang tipis. Kamu juga melihat kedua telinganya yang dihiasi dengan piercing, dua di sebelah kanan dan satu di sebelah kiri; memperhatikan rambutnya yang jabrik dan berwarna kecoklatan. Dia memang sosok laki-laki gagah seperti yang diceritakan oleh kedua orang tuanya selama ini. Kamu juga mengetahui sebelumnya bahwa usianya hanya lebih tua setahun darimu.
“Namaku Kim Jong-hyun...” Dia membuka suaranya, dengan suara yang agak ragu. “Setidaknya itu yang aku dengar dari dua orang yang mengatakan bahwa mereka adalah orang tuaku...”
Kamu bisa melihatnya tersenyum sinis, wajahnya masih terus menunjukkan ekspresi yang kebingungan, seolah tidak mengerti tentang semua yang terjadi padanya, kenapa dia ada di sini, dan bahkan dia seolah tidak mengenali siapapun.
“Na... namaku Lee Yun-ji.” Kamu memperkenalkan dirimu dengan gugup, sorot matanya yang tajam menatapmu hingga kau tidak bisa berkata apa-apa. Bentuk khas wajahnya dengan rahang yang kokoh membuatnya terkesan sebagai seorang bad boy dan membuatmu bergidik ngeri.
“Kau terlihat terluka parah. Mereka mengatakan bahwa kau mengalami kecelakaan hingga seluruh anggota keluargamu meninggal dan kau sebatang kara...” Dia berganti mengamatimu. “Kau lebih beruntung, setidaknya mau masih memiliki ingatan tentang siapa dan darimana engkau.”
Laki-laki itu menghela napas panjang. Kamu dapat melihat bahwa kondisinya tidak berbeda jauh denganmu. Di sekujur tubuhnya terdapat luka yang ditutupi dengan perban, bahkan kaki kanannya terbungkus gips.
Tangannya bergerak, menggapai sebuah gitar yang teronggok cukup jauh dari tempat tidurnya. Menyadari dia tidak bisa bergerak banyak, dengan agak ragu kau pun berjalan menghampirinya dan membantunya mengambil gitar itu. Kamu menyerahkan gitar itu kepadanya dan secara tidak sengaja tatapan kalian saling beradu. Dia tersenyum.
“Gomawo...”
Jong-hyun mulai memetik senar gitar tersebut, memainkan beberapa melodi yang terdengar asing bagimu. Namun belum lama dia memainkan gitar tersebut, dia pun berhenti. Dia sedikit memutar posisi duduknya dan berganti menatapmu yang duduk di atas kursi di samping tempat tidurnya. Perlahan, dia menopangkan dagunya pada lipatan tangannya di atas gitarnya dan menatapmu.
“Aku tidak tau apa yang menimpaku hingga aku seperti ini. Kata mereka... aku mengalami kecelakaan di kampusku ketika aku mempersiapkan acara. Aku terjatuh dari ketinggian.Tulangku patah, dan aku hilang ingatan, semua ingatan tentang identitas, memori apapun itu pun lenyap dari otakku, tapi anehnya aku tidak melupakan bakatku dan kemampuanku dalam bermusik. Aneh memang. Dan akhirnya aku hanya bisa diam dan tetap terkurung di ruangan ini hingga aku bisa keluar dan belajar tentang dunia ini, sekali lagi. Tidak berbeda jauh denganmu. Aku yakin kau pasti masih sedih dengan kecelakaan yang menimpa keluargamu dan kau harus menerima bahwa kau tinggal di keluarga dari rekan Appa-mu yang bahkan tidak kau kenali sebelumnya.”
Kamu tidak menjawab satupun ucapannya. Bukan karena merasa tidak ada yang perlu kau jawab, namun kau justru menyadari bahwa nasibmu tidak seburuk apa yang kau pikirkan. Setidaknya kau masih memiliki keluarga yang mau menampungmu dan kenangan mengenai keluargamu masih dapat kau kenang dan selalu tersimpan di dalam benakmu. Tanpa kau sadari, air matamu pun menetes.
“hei... Kenapa kau menangis? Apa karena aku berbicara terlalu banyak?”
Jong-hyun terlihat kaget, namun dengan sigap dia meraih kotak tisu yang ada di atas meja belajarnya dan mengulurkannya kepadamu.
“Gomawo..” Kamu menarik selembar tisu dan menyekanya. Kamu pun berusaha untuk berbicara, meskipun kau masih merasa gugup. “Aku sedikit lebih beruntung darimu. Aku masih memiliki ingatan dan bisa tinggal dengan layak karena kebaikan kedua orang tuamu. Oleh karena itu, sebagai rasa terima kasihku, bolehkah aku menemanimu mengobrol setiap hari?”
Jong-hyun terlihat kaget dengan ucapanmu, namun kau bisa melihat bibirnya melengkung, tersenyum kepadamu.
“Karena kau tidak bisa berpindah dari tempat tidurmu, aku akan ada di sini setiap hari untuk membantumu. Aku akan menjadi teman bicaramu, mengenalkan apa yang terjadi di luar sana kepadamu. Aku memang tidak terlalu pintar, tapi semoga itu cukup untuk membuatmu mengerti.”
Mendengar ucapanmu, Jong-hyun tertawa. Dia tampak senang mendengar ucapanmu. Kau pun tidak mengerti kenapa dia terlihat begitu bahagia, namun tidak dapat kau pungkiri bahwa rasa bahagia juga menjalar di dalam hatimu.
“Baiklah. Kalau begitu kita sepakat untuk terus saling membantu dan menemani mulai dari hari ini. Senang berkenalan dan tinggal serumah denganmu, Yun-ji...”