Tuesday, October 12, 2010

Hello

Suara hujan yang kembali menampar jendela dengan sadisnya membuatku mengangkat kepala dan melihat ke arah kaca yang ada tepat di sebelah kiriku. Hujan lebat disertai petir kembali mengguyur kota Jakarta. Aku mendesah perlahan dan kembali memusatkan perhatianku kepada buku sketch yang ada di hadapanku, mencoba menyelesaikan sketsa wajah seseorang yang terlintas di dalam kepalaku – meskipun aku bahkan tidak tahu siapa yang sedang kugambar itu.
Namaku Jonathan. Aku adalah seorang mahasiswa semester lima, jurusan seni; dan inilah rutinitasku, menghabiskan sore hariku dengan duduk sendirian di sebuah coffee shop di tengah kota Jakarta, menikmati segelas Black Coffee ataupun cappuccino sambil sibuk dengan buku sketch ukuran A5 yang selalu kubawa. Meskipun hal in iterdengar kesepian dan menyedihkan, tapi aku sangat menikmatinya.

Dentingan suara lonceng yang menandakan adanya tamu yang masuk ke Coffee shop kembali terdengar mengiringi suara orang-orang yang bercakap-cakap di dalam ruang full AC ini. Udara yang semakin terasa sejuk membuatku hanya merapatkan sweaterku perlahan sambil kembali menyesap kopi panasku tanpa berniat untuk mengangkat wajahku sedikitpun. Aku sedikit terlena dengan kegiatanku saat ini. Ya. Bagaimana tidak. Seorang gadis yang bahkan tidak pernah kulihat sebelumnya sekarang sedang tersenyum di dalam buku sketsaku. Dia memandangku dengan sepasang matanya yang bulat dan senyum dari bibirnya yang melengkung dengan begitu alami. Mungkin ini adalah salah satu sketsaku yang sempurna dan aku berniat untuk benar-benar menyempurnakan gadis ini.
“Aku pesan satu hot chocolate.” Di tengah konsentrasiku, aku mendengar suara seorang gadis yang sedang berbicara dengan salah satu pramusaji. Namun aku tetap saja masih berkonsentrasi dengan sketsaku meskipun aku menyadari suara itu berasal dari sumber yang tidak jauh dari tempat dudukku. Aku memang tidak tertarik sama sekali.

Beberapa menit berselang. Lobby coffee shop ini tetap saja dipenuhi dengan suara dari pengunjungnya meskipun terdengar seperti suara-suara gemuruh yang bahkan nyaris berbisik dengan diiringi instrument lagu Jazz yang tidak kukenali. Suasana seperti inilah yang kusukai. Tidak ada yang mengusikku. Hanya ada aku, sendiri, duduk di meja yang terletak di pojok ruangan dan berselahan dengan kaca besar yang memungkinkanku untuk melihat ke arah mobilku, dan juga merupakan tempat paling strategis untuk melihat siapa tamu yang datang karena pintu masuk yang terbuat dari kaca itu berada sekitar 6 meter di hadapanku. Benar-benar tempat yang sempurna bukan?
Aku mengangkat kepalaku sesaat, mencoba mengistirahatkan mataku meskipun untuk sejenak. Sebuah kegiatan yang seharusnya dilakukan setiap lima belas menit sekali agar gambarku tidak mengalami distorsi, begitulah nasehat yang diberikan dosenku ketika aku masih duduk di bangku semester pertama dan ajaibnya kata-kata ini memang selalu kulakukan dengan atau tidak dengan sengaja. Saat “mengistirahatkan” mataku itulah aku menyadari darimana suara gadis yang memesan minuman itu berasal. Gadis itu duduk tepat di meja yang ada di depan mejaku. Dia duduk membelakangi pintu – dan menghadapku sambil menunduk, memperhatikan sesuatu yang ada di atas mejanya.
Beberapa detik berselang… Entah mengapa aku hanya bisa terdiam melihat gadis itu. Wajahnya memang tidak terlihat dengan jelas, namun aku bisa melihat kulitnya yang putih, dan rambutnya yang kehitaman terurai lurus hingga punggungnya. Tiba-tiba jantungku berdetak sedikit lebih cepat, namun aku tidak terlalu mempersoalkannya. Aku hanya terus menatap wajah gadis itu tanpa bergerak sedikitpun. Aku nyaris tidak sadar dengan apa yang sedang kulakukan.
Beberapa saat berlalu lagi. Gadis itu akhirnya menunjukkan wajahnya. Dia mengangkat kepalanya bersamaan dengan minuman pesanannya yang datang. Dia tersenyum sesaat pada pramusaji yang menghampirinya dan akhirnya setelah pramusaji itu pergi, dia hanya bisa menatap ke luar kaca sambil menopangkan dagunya dengan tangan kanannya.
Kali ini jantungku berdetak jauh lebih cepat dan aku merasakan wajahku memanas secara tiba-tiba.
Gadis itu?
Kekagetanku itu tidak kutunjukkan dengan perubahan sikap yang mendadak. Aku masih bisa berpikir dengan jernih di saat-saat yang benar-benar mengusik naluriku. Aku mencoba mengalihkan padanganku dari gadis itu dan menatap buku sketsa yang tergeletak di antara kedua tanganku. Sama! Gadis itu adalah gadis yang sama dengan gadis yang ada di dalam buku sketsaku. Rambutnya yang berwarna kehitaman terurai dengan lembut dengan poni yang menutupi seluruh dahinya. Alisnya hitam, lebat, namun terlihat melengkung dengan indah diatas sepasang matanya yang bulat. Hidungnya memang terlihat mendominasi wajahnya dengan bentuk yang tidak mancung; dan  bibirnya. Bibinya yang berwarna merah muda itu terlihat melengkung dengan alami baik ketika dia sedang tersenyum maupun ketika dia sedang melamun seperti ini.
Ini aneh! Benar-benar aneh, pikirku…
Bagaimana bisa gadis yang sedang ada di dalam sketsaku bisa hadir di hadapanku? Maksudku… bagaimana bisa gadis itu hidup? Dia hanyalah sebuah imajinasiku dan tidak mungkin dia bisa hadir dengan nyata di hadapanku. Bagaimana bisa ini terjadi? Aku tidak pernah sekalipun melihatnya, aku tidak pernah sekalipun bertemu dengannya ataupun membayangkannya. Dia hanyalah imajinasiku yang muncul secara tiba-tiba sore ini, beberapa saat yang lalu ketika aku mulai menggoreskan pensilku di atas kertas putih ini. Tapi bagaimana imajinasiku itu bisa hidup? Mimpikah ini?
Aku kembali mengangkat kepalaku, kembali menatap gadis itu. Dia mengenakan sebuah kaus hitam dibalik kardigannya yang berwarna kecoklatan. Di lehernya tergantung sebuah kalung yang tidak bisa kuliah bagaimana bentuknya. Dia masih saja terlihat melamun sambil menatap hujan yang mengguyur semakin deras di luar sana. Entah apa yang dipikirkan oleh gadis itu. Dia bertahan dengan posisi diamnya dan sepasang matanya menatap sesuatu yang tidak fokus. Kilatan petir dari langit yang terpantul dari sepasang matanya juga tidak mengubah ekspresinya sama sekali.
Beberapa menit kemudian, dia pun akhirnya bergerak. Dia mengatupkan kedua tangannya dan mengangkatnya ke atas dan secara serentak dia menarik punggungnya sedikit– melakukan stretching. Dia kemudian menyentuh cangkirnya untuk merasakan suhu minumannya, kemudian dia mengangkat cangkir itu dan menyesap isinya perlahan; sesaat kemudian dia tersenyum lega.
Gadis itu kemudian terlihat mencari kegiatan untuk mengisi waktu luangnya, kurasa. Dia mengeluarkan beberapa property dari tasnya yaitu sebuah novel saku yang cukup tebal, ponselnya, dan headset. Dengan gerakan yang perlahan dan begitu tenang, gadis itu memeriksa ponselnya dan kemudian menghela napas perlahan. Kecewa.
Aku masih terus saja mengamati gerakannya. Aku tidak tahu seberapa anehnya caraku melihat gadis ini, lebih tepatnya aku tidak peduli apalagi gadis ini tampaknya benar-benar tidak menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya. Gadis itu malah kemudian membaca novel yang dibawanya dan dalam waktu singkat dia terlarut dalam kesibukannya sendiri,  membiarkanku terus menatapnya.
Hening… suasana mendadak treasa begitu hening bagiku.
Di tengah keheningan itulah aku dapat mendengarnya. Terdengar begitu jelas. Suara degup jantungku yang berdetak begitu cepat, membuatku merasakan tekanan di dalam tubuhku naik secara tiba-tiba, seluruh isis tubuhku seperti sedang bergejolak hebat, dan membuat sekujur tubuhku terasa panas. Aku bahkan sangat sulit untuk bernapas, aku tidak bisa bergerak, dan seluruh isi pikiranku serasa kosong.
Apa yang salah denganku?
Aku tidak dapat berpikir lagi. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku seperti ini. Detak jantung seperti ini, perasaan seperti ini, sudah begitu lama tidak pernah kurasakan. Apakah aku kembali….
Ah! Tidak!

“Apa aku harus menyapanya?” Ide konyol itu kemudian berhembus, entah darimana, namun pikiranku dengan cepat langsung merespon untuk tidak melakukan hal itu. Aku mencoba memaksa pikiranku untuk bekerja dengan normal, mengenyahkan semua harapan dan ide yang muncul dari hatiku yang sudah lama membisu.
“Hello…” Hatiku kembali berbicara. “Katakan ‘Hello’. Itu cukup!” paksanya sekali lagi.
Tapi aku tetap bersikukuh. Tidak! Aku tidak boleh seperti ini. Tidak sepantasnya seorang Jonathan seperti ini.
“Hello saja. Itu cukup!” perintah hatiku sekali lagi.
Namun kekuatan tubuhku lebih menuruti pikiranku yang masih saja bertahan pada logikaku.
Pergulatan hebat terjadi di dalam diriku. Sebuah perang antara hatiku yang seharusnya sudah mati itu melawan pikiranku yang selalu setia bekerja dengan baik membuatku tidak tenang. Sekujur tubuhku seperti bergejolak, sementara aku ternyata yang terjadi malah tidak mampu bergerak. Aku terdiam. Tetap menatap gadis itu.

“Hello…”
Panggilan itu serentak membuyarkan tatapanku. Aku buru-buru mengalihkan tatapanku ke sumber suara dan mendapati seorang laki-laki berdiri sekitar 2 menter dariku. Dia tersenyum menatap gadis itu dan aku mendapati respon yang sama di wajah gadis itu.
“Kamu lama banget,” gerutu gadis itu sambil tersenyum manja. Ekspresi kekecewaan yang tadi kulihat mendadak sirna, berganti dengan senyuman yang begitu tulus. Melihatnya, mendadak dadaku terasa sesak. Ini?
“Maaf, sayang… tadi dosennya ngoceh kelamaan…” Laki-laki berkacamata dan bertubuh tegap itu berbicara dengan lemah lembut. “Ayo pulang,” ajaknya seraya mengulurkan tangannya.
Gadis itu membereskan beberapa barang-barang yang sempat dikeluarkannya. Dia pun meraih tangan kiri laki-laki itu kemudian baranjak dari tempat duduknya tanpa merubah senyumnya sama sekali; dan tepat sebelum dia berbalik memunggungiku, dia menatapku sekilas dan tersenyum kepadaku.
Aku tersentak. Tetap terdiam dalam posisi yang tidak berubah sama sekali. Aku tidak dapat mencerna serangkaian kejadian ini. Gadis itu? Siapa gadis itu? Apakah dia tahu kalau aku melihatnya terus dari tadi? Lalu apa maksud senyuman itu? Dan apa yang terjadi denganku? Sejak kapan aku menjadi idiot seperti ini? Sejak kapan aku tertarik lagi….

“Hey, Than…”
Panggilan itu membuatku menoleh. Seorang laki-laki dengan perawakan tinggi yang nyaris sepertiku, kulit berwarna putih, dengan sorot matanya yang tajam, alis tebal, hidung mancung, wajah tirus, dan badan yang berisi, semua nyaris sepertiku, menatapku bingung.
“Kamu kenapa?” tanyanya cemas.
Aku memalingkan tatapanku dari wajahnya. Aku mengalihkan tatapanku ke arah luar coffee shop. Hujan di luar sana masih saja turun dengan lebatnya.
“Kamu sakit?”
Dia bertanya sekali lagi, dengan nada yang sama cemasnya.

Aku termenung sesaat. Pikiranku berangsur normal kembali. Aku bisa berpikir lagi sekarang. Degup jantung yang tidak teratur itu juga perlahan menghilang sampai nyaris tidak bisa kurasakan lagi.
“Kamu tidak apa-apa?”
Kali ini dia terdengar semakin cemas dan secara otomatis aku menatapnya. Aku tersenyum. “Aku nggak apa-apa. Kamu tenang saja, Kevin,” jawabku singkat. Raut kecemasan di wajahnya pun perlahan memudar dari wajah tampannya, meskipun tidak sepenuhnya.
Kedua tanganku kemudian bergerak untuk merapikan peralatan sketsaku dan untuk terakhir kalinya mataku beradu dengan ‘gadis’ itu. Aku hanya bisa menghela napas sesaat dan kemudian menutup buku sketsaku itu, menutup harapan yang seharusnya tidak pernah ada itu.
Aku bangkit dari tempat dudukku. Aku menatap sepasang mata Kevin yang letaknya hampir sejajar dengan mataku. Aku mencoba meyakinkannya kalau aku memang baik-baik saja. “Ayo pergi, sayang.” Aku tersenyum sambil menggenggam jemarinya dan mengajaknya untuk segera pergi.

No comments:

Post a Comment